Sumsel Independen– Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro 1957 menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) karena dinilai tidak memiliki urgensi untuk diproses menjadi Undang-Undang. Pendapat ini tertuang dalam pernyataan sikap yang ditandatangani PLT Ketua Umum, H. Syamsul Bachri dan Sekretaris dan Jenderal M. Sabil Rachman serta diketahui Ketua Majelis Pertimbangan, H.R Agung Laksono, Sabtu (20/6).
Dalam pernyataannya, Kosgoro mencermati perkembangan dan situasi politik nasional, sangat menguat gejala yang mengarah pada munculnya kelompok yang dapat dikatakan mencoba mengganti ideologi negara yakni Pancasila.
“Kelompok ini baik dari ekstrim kanan maupun ekstrim kiri, berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara-cara yang bertentangan dengan ideologi bangsa yang kita anut dan yakni sebagai alat pemersatu bangsa,” kata Syamsul dalam rilisnya.
Kelompok ini, terangnya, meski tidak secara terang-terangan, berusaha mengkampanyekan dan mengembangkan ideologi yang berlawanan dengan dasar negara yaitu Pancasila dengan berbagai macam cara. Kelompok ini dengan sengaja, menyebarkan paham-paham yang secara ideologis sangat bertentangan dan menyimpang dari Pancasila sebagai falsafah negara.
“Sebagai falsafah, ia menjadi sumber dari segala sumber hukum untuk menguatkan sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk menjadi landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” ungkapnya.
Dikatakan, Pancasila juga merupakan sebuah ideologi yang dapat menjadi perekat semua kelompok masyarakat. Pancasila diyakini merupakan titik temu (common platform) bagi keberagaman suku, agama, ras dan budaya serta latar belakang yang berbeda dan hidup di Indonesia.
“Dalam perspektif itulah sebagai kekuatan nasional yang selama ini telah dan ikut berjuang mempertahankan Pancasila sebagai Ideologi negara maka menjadi sangat penting bagi Kosgoro 1957 untuk hadir dan mengingatkan kembali, kepada semua pihak dan elemen bangsa untuk tetap konsisten dan tidak menganggap sepi akan hadirnya ancaman yang sangat membahayakan posisi ideologi Pancasila baik dari kelompok ekstrim kanan maupun ekstrim kiri,” ungkapnya.
Sejarah telah mencatat, sambungnya, berbagai usaha penggantian ideologi negara yang sah pernah dilakukan oleh mereka yang tidak percaya dan berkehendak mengkhianati keluhuran nilai-nilai Pancasila. Lintasan sejarah dapat merekam usaha mereka yang berkeinginan mengganti ideologi Pancasila antara lain pembrontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Partai Komunis Indonesia pimpinan Muso di Madiun Jawa Timur pada tahun 1948, kemudian tragedi yang paling menyayat adalah kudeta PKI melalui Gerakan Tiga Puluh Setember (Gestapu) pada tanggal 30 September 1965. Peristiwa terakhir ini menelan korban baik TNI maupun warga sipil dengan jumlah yang diperkirakan jutaan orang.
“Kini, setelah Indonesia memasuki babak baru era kebebasan dan demokratisasi ada sebagian kelompok masyarakat yang mencoba memutarbalikkan fakta. Mereka berusaha membangun dan menggiring opini bahwa PKI adalah korban, bukan pelaku pengkhianatan sebagaimana teks sejarah yang tersedia selama ini,” paparnya.
“Mereka secara sistematis membangun persepsi publik, melalui buku, media massa dan media sosial. Meski peristiwa pengkhianatan PKI pada 30 September tahun 1965, dari sudut pandang ilmiah akademik, masih banyak versi, tapi secara historis, filosofis, yuridis dan sosiologis, ajaran komunisme / marxisme – lenisme sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya kembali.
Masih dalam pernyataannya, Sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menempatkan Tuhan Yang Maha Esa yang satu itu menjadi sendi, jiwa dari semua sila, yang berarti menjadi pedoman dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan ajaran Komunisme, yang menihilkan keberadaan Tuhan. Oleh karena itu secara yuiridis, melalui Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 bahwa Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Lenisme dinyatakan tetap berlaku.
“Dengan ketetatapan MPR RI ini, artinya bahwa secara hukum, larangan yang terkait dengan PKI, ajaran Komunisme/Marxisme-Lenisme, atribut dan simbol serta perangkat-perangkatnya dilarang di bumi Indonesia. Apalagi berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kedudukan dan hirarki Tap MPR RI, berada dibawah UUD 1945,” tegasnya.
Berikut pokok-pokok pikiran:
“Berdasarkan pandangan diatas maka Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro 1957 berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila tidak memiliki urgensi untuk diproses menjadi Undang-Undang,” tutupnya. (Ril)
Cak_In
<
Tidak ada komentar