Banner Pemkot Palembang

Banner Abdullah Taufik

Banner Muba

Griya Literasi

HeadlineOpini

Menakar Arah Gerakan Demokratis Pasca diSahkannya UU Cipta Kerja

Sumsel Independen – Lagi dan lagi Undang-Undang Cipta Kerja menuai kritik karena dikhawatirkan akan menguntungkan pemilik perusahaan (terutama perusahaan asing), konglomerat, kapitalis, investor (terutama investor asing) dan merugikan hak-hak pekerja serta meningkatkan deforestasi di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan. Undang-undang Cipta Kerja, yang kini telah gugur karena Perppu Nomor 2 Tahun 2022, memicu protes besar-besar dan bahkan aksi mogok nasional dari kalangan buruh pada Oktober 2020 lalu.

Ada banyak yang memberi unjuk rasa untuk menolak undang-undang ini masih berlangsung dan menuntut agar undang-undang ini dicabut. Walau telah disahkan DPR, terdapat cacat dalam proses perundangan berupa perubahan isi materi UU yang dapat berimplikasi pada hukuman pidana. Namun Sejak Februari 2020, berbagai unjuk rasa digelar di beberapa daerah Indonesia dengan titik orasi berada di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan jalan-jalan lainnya. Beberapa protes berlangsung damai, sementara yang lain berubah menjadi kekerasan, menyebabkan kerusakan properti, serta korban jiwa dan penangkapan.

Baca Juga :   Tingkatkan Keterampilan Pemuda, Disnakertrans Buka Pelatihan

Sebenarnya UU Cipta Kerja memiliki peran yang sangat efektif dalam pembangunan hukum Indonesia, hal ini dikarenakan UU Cipta Kerja mampu menyederhanakan berbagai persoalan regulasi dalam satu undang-undang saja, sehingga kedepannya masyarakat cukup merujuk UU Cipta Kerja dalam beberapa aspek tanpa adanya tumpang tindih dengan peraturan lainnya.

Namun pengesahan itu sendiri dinilai bermasalah karena dilakukan dengan terburu-buru dan tidak transparan. UU Cipta Kerja itu menuai kritik karena diasumsikan dapat merugikan hak-hak buruh atau pekerja. Bahkan meningkatkan deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan.

Sehingga munculnya masalah-masalah pokok dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, ada 4 masalah mulai dari mekanisme PKWT, pengupahan, pemutusan hubungan kerja (PHK), pesangon, dan outsourcing. Oleh sebab itu, banyaknya tuaian kritik dengan adanya RUU Cipta Kerja membatasi penetapan upah minimum oleh kabupaten dan kota, lalu memberikan rumus yang didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tetap diatur dalam UU Cipta Kerja, dengan syarat tertentu. Upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja dan buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi atau inflasi. RUU ini juga mengurangi batas pembayaran pesangon dari gaji 32 bulan menjadi gaji 19 bulan, ditambah gaji enam bulan yang disediakan oleh pemerintah.

Baca Juga :   Gubernur Sumsel Dapat Cucu Cantik di Tanggal Cantik

Besaran pesangon ditentukan dengan mengatur nilai maksimalnya, berbeda dari UU Ketenagakerjaan yang mengatur nilai minimalnya. Batas lembur dinaikkan menjadi empat jam per hari dan 18 jam per minggu, dan wajib hari libur dikurangi dari dua hari dalam seminggu menjadi hanya satu hari. Undang-undang tersebut juga menghapus mandat cuti berbayar selama 2 bulan bagi pekerja yang bekerja selama lebih dari 6 tahun.

Namun proses pembentukan UU Cipta Kerja menunjukan bahwa DPR tidak sedang menjalankan dengan baik fungsi legislasi yang dimilikinya. Reformasi juga mengamanatkan adanya penguatan fungsi legislasi DPR dengan memberikan kekuasaan legislasi lebih condong ke DPR. Namun, DPR saat ini lebih menjalankan fungsinya sebagai pemberi stempel terhadap kebijakan pemerintah. Kontrol terhadap usulan Presiden tidak dijalankan secara optimal.

Penulis : Rismaya Sari Mahasiswa Uin Raden Fatah Palembang

 

 

 

Hj. Anita Noeringhati, Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button