
Telah tersebar luas bahwa besaran RAPBD kota Palembang menurun dari tahun anggaran 2018/2019 dan ironisnya belanja pegawai meningkat tajam hingga hampir Rp 150 milyar. Publik bertanya mengapa bisa terjadi seperti Itu? APBD Kota Palembang sebelumnya 2019 sekitar Rp 4,5 T, menjadi Rp 4,4 T dalam RAPBD Tahun 2020. Belanja Pegawai sebelumnya hanya Rp 1,74 T pada tahun 2019 menjadi Rp 1,89 T dalam RAPBD Tahun 2020.
Apakah itu disebabkan oleh faktor penghematan pembiayaan pembangunan, alokasi bantuan pusat yang berkurang, penghapusan beberapa biaya bidang program pembangunan, ketidak mampuan, terbatasnya daya kelola dalam penggunaan anggaram dan atau kurang berdayanya pemko meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sumber anggaran dari pemerintah pusat biasanya bersumber dari Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil. Pemerintah pusat akan meningkatkan jumlah distribusi dana tersebut, tatkala pemerintah daerah mampu secara efektif atau tepat sasaran dalam penggunaan, alias maximal realisasi penggunaan APBD tahun sebelumnya, serta tidak memunculkan Silpa.
Tetapi Kita juga dituntut untuk merunut dan mengusut tuntas pemakaian dana pembangunan berdasarkan pos pos anggaran mana yang ditemukan kerancuan alokasi juga konsumsinya. Lantas, mengapa terjadi pembengkakan belanja pegawai diPemko palembang, sementara RAPBD nya turun?
Memprihatinkan memang. Usulan penyusunan menaikkan belanja pegawai dalam Pos anggaran, adalah hal atau cara paling mudah untuk dilakukan dalam “menghabiskan” dana APBD. Padahal belum tentu ditopang oleh Kinerja, produktifitas maupun prestasi para pegawainya dalam menjalankan roda ( birokrasi) pemerintahan dalam merespon tingkat kepuasan masyrakat atas pelayanan publik atau pembangunan fisik lainnya.
Artinya, dalam konteks ini, DPRD Kota Palembang yang baru saja terbentuk agar segera tanggap dan mengawasi secara ketat juga kritis realitas penyebab penurunan RAPBD tahun 2020, terkhusus bertambahnya jumlah anggaran belanja pegawai tanpa sebab alias terkesan dipaksakan, padahal para ASN itu wajib menonjolkan integritas atau prestasi kinerja nya terlebih dahulu, setelah itu berhak memperoleh ragam tunjangan kinerja.
Sebaiknya, pemerintah tak hanya mendahulukan kesejahteraan pegawainya saja, tetapi kepuasaan atas kerja para aparatur pemerintah harus berbanding lurus juga dengan meningkatnya taraf hidup mau kesejahteraan warga kota ini. Dan harus dipahami bahwa kemajuan suatu daerah, bukan dilihat dari tingkat kesejahteraan para warganya yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah semata, tapi diukur dari progresifitas indeks pembangunan masyarakat dalam multi profesi, yang teruji mengalami peningkatan pendapatan dalam beragam dimensi kajian kesejahteraan sosial ekonomi.
Penulis adalah Pemerhati Politik/ Forum Demokrasi Sriwijaya.
