Griya Literasi

Upaya Strategis Menyongsong Pemilu 2024 Berdaulat

Jumat, 3 Jun 2022 07:35 6 menit membaca
PEMKAB MUBA

Sumsel Independen – Pesta demokrasi setiap tahun memiliki fenomena masing-masing, salah satunya pada pemilihan umum tahun 2019 lalu telah memberikan pelajaran paling berharga bagi eksistensi dan pembenahan sistem demokrasi bagi bangsa Indonesia. Adapun fenomena yang harus mendapat perhatian khusus adalah tingginya angka kematian dan minimnya skillbidang teknologi pada penyelenggara pemilu sampai pada tingkat bawah selama pesta demokrasi berlangsung. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu 2019 lalu yang meninggal dunia berjumlah 894 petugas dan 5.175 petugas mengalami sakit. Bahkan data dari Kementeria Kesehatan, untuk petugas Pemilu sakit yang mencapai 11.239 disebabkan sembilan jenis penyakit, yakni Hipertensi Emergency, Diabetes, Asma, Dispepsia, Gastritis, infeksi saluran kemih, typoid, syncope, dan stroke. Dari fenomena sosial di atas, maka dipandang menjadi suatu keharusan bagi seluruh stackholder penyangga kebijakan persiapan Pemilu 2024 mendatang agar lebih tepat, manfaat dan maslahat. Bagi penulis setidaknya ada beberapa upaya strategis yang harus dilakukan oleh penyelenggara, antaralain;

Pertama, Pembatasan Usia.

Jika melihat data yang disuguhkan oleh Kementerian Kesehatan, telah diketahui usia korban paling banyak berkisar antara 50 hingga 59 tahun dengan jumlah 65 jiwa. Sisanya di bawah 19 tahun sebanyak 12 jiwa, 20-29 tahun 9 jiwa, 30-39 tahun 22 jiwa, 40-49 tahun 44 jiwa, 60-69 tahun 26 jiwa, dan 70 tahun ke atas sebanyak 11 jiwa. Terlihat bahwa yang kematian petugas di dominasi oleh usia yang 50 tahun ke atas, maka hal ini menjadi pekerjaan besar yang di dominasi oleh sistem yang sudah ada, salah satunya data usia produktif menurut Badan Pusat Statistik (BPS), “usia produktif diukur dari rentang umur 15 hingga 64 tahun”. Atau hanya dengan bahasa yang sederhana “Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan lebih”. Dari Badan Pusat Statistik. Barangkali data usia inilah yang kemudian menjadi bagian acuan “usia produktif” pada setiap proses pemilu dari tahun ketahun. Akan tetapi jika meilhat realitas yang ada, tentu kajian faktor “Usia” menjadi lebih di utamakan atau update dengan kondisi kontemporer. Artinya, bicara usia produktif tidak harus terpaku pada informasi yang dari BPS saja, melainkan juga pertimbangan faktor kemanusiaan lebih penting. Hal ini sesuai dengan salah satu qoidah yang sering digunakan oleh para ulama dalam menyelesaikan suatu perkara “Dar ul mafasid, muqoddamun ‘ala jalbil masyolikh” (meninggalkan keruskan lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan).

Kedua, Kolaburasi dengan institusi pendidikan tinggi

Pemuda hari ini adalah masa depan bangsa, demikian sering kita dengar sebagai pepatah. Lebih tepat lagi bukan hanya di bibir saja, melainkan partisipasi dan peran pemuda khususnya “mahasiswa” yang dominan melek tekhnologi dan memiliki potensi produktif sehingga layak dilibatkan sebagai penyelenggara Pemilu 2024 mendatang. Hal ini seirama dengan apa yang disampaikan oleh Bagja Masuklah ke penyelenggara pemilu, karena tugasnya sangat menantang. Anda akan merasakan kerja-kerja penyelenggara pemilu, di Indonesia negara kepulauan. Jarak antar kecamatan sangat jauh. Bahkan ada yang membutuhkan waktu dua hari dari kota untuk sampai ke TPS. Sehingga rentan terjadi masalah. Sehingga kerja penyelenggara pemilu tidak mudah”. Hal ini setidaknya menjadi upaya strategis nan taktis atas persiapan pemilu yang lebih efektif dan tepat kedepan. Kolaburasi dengana pendidikan tinggi menjadi keharusa yang dilakuan oleh setiap penyelenggara pemilu di tingkat pusat sampai daerah, bahkan desa, sehingga peran partisipatif mahasiswa dapat tersalurkan. Barangkali yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, sudahkah upaya strategis ini dilakukan? Sudahkah Penyelenggara pemilu memberikan peluang dan memprioritaskan bagi kalangan mahasiswa ? Tentu ini menjadi pertimbangan penting  bagi eksistensi keberlangsungan  pesta demokrasi 2024 mendatang.

Ketiga, Digitalisasi sistem

Peran tehnologi menjadi suatu keharusan dan tidka bisa ditawar lagi, bagaimana Bawaslu dan KPU menyediakan sistem yang inovatif berbasis digital, sehingga hal ini bisamengurangi permasalahan teknis di lapangan dan mempercepat informasi sampai pada publik. Jika digitalisasi pola dilakukan, tentu setiap jenjang penyelenggara membutuhkan sumber daya manusia yang terampil akan tehnologi tersebut. Maka yang menjadi jawaban tepat adalah “memfungsikan peran mahasiswa sebagai leader dalam proses pencegahan dan pelaksanaan pesta demokrasi dengan tetap mewarnai panggung pemilu tersebut dengan model baru yang relevan dengan era kekinian. Tentu hal ini membutuhkan ketegasan dari KPU dan Bawaslu dalam memformulasi peraturan atas calon penyelenggara yang melibatkan peran publik secara umum. Isu mengenai digitalisasi pemilu sedang ramai diberitakan media. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyinggung digitalisasi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) saat bertemu dengan jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU).“Adopsi teknologi digital dalam pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu,”

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate juga menilai penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 menjadi momentum untuk menghasilkan pemimpin masa depan Indonesia dengan komitmen digitalisasi Indonesia, karena sudah banyak negara yang sudah mulai menerapkan e-voting. Pengadopsian teknologi digital dalam giat Pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu. Ini yang perlu kita perhatikan betul-betul dan tren digitalisasi pemilu pun dapat dilihat dari ragam visi dan pengadopsiannya dalam tahapan pemungutan suara di beberapa negara di dunia. Pertama adalah keberadaan inovasi digital sebagai bagian dari solusi. Kedua, arus data dan komunikasi. Ketiga, mengenai karakteristik percepatan laju komunikasi. Keempat, komodifikasi data electoral. Karena itulah cara dan sarana yang paling efektif untuk mengisi migrasi masyarakat dari ruang fisik ke ruang digital. Itulah cara bagi kita untuk mengisi akselerasi transformasi digital nasional. Dukungan ini setidaknya menjadi energi positif bagi KPU dan Bawaslu dalam membanguan pola dan sistem pemilu berbasis digital yang relevan dengan kondisi dan kebutuhan dengan tetap mengedepankan nilai kemanusiaan dan kemaslahatan bangsa dan negara.

Keempat, Selektif

Jika melihat pada Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum tepatnya pada bab 2 Asas, Landasan, Prinsip, Dan Sumpah Janji Penyelenggara Pemilu Pasal 6 bagian ke 3 tentang Profesionalitas Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada prinsip:
e. kepentingan umum bermakna dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu mendahulukan kepentingan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.Jika melihat hal di atas, sangat jelas bahwa salah satu prinsip yang menjadi asas sikap penyelenggara adalah aspiratif, akomodatif dan selektif, maka menjadi urgen bagi Bawaslu dan KPU untuk melaksanakan komitmen teresbut dengan tidak mengedepankan kepentingan kelompok.

Integritas sebagai penyelenggara dipertaruhkan dalam pemilu tahun 2024 mendatang, untuk itu selektif atas skill yang dimiliki, kecakapan pada calon penyelenggara menjadi tolak ukur bagi penentu kebijakan. Jika direlevansikan dengan pola sebelumnya yang menjadi bagian visi dan misi  pemilu berbasis digital, maka sudah seharusnya untuk memprioritaskan “peran mahasiswa di daerah masing-masing sebagai salah satu sumber daya manusia alternatif yang dibutuhkan dan masih produktif”. Sehingga ketika pelaksanaan pemilu berlangsung, penyelenggaranya bukan penyelenggara seumur hidup, melainkan lebih menghargai kode etik yang sudah ada, atau maksmimal dua kali sebagai penyelenggara. Maka sudah tentu hal ini dibutuhkan sistem yang tepat dalam mengawal eksistensi proses pesta demokrasi mendatang.

Penulis : Dr. Darul Abror, M.Pd. || Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama STAI Ash-Shiddiqiyah OKI Sumsel

Cak_In

Cak_In

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


    MAJALAH TERBARU

    Majalah Independen Edisi LIV

    Sponsor

    Wujudkan Supremasi Hukum
    <

    Majelis Dzikir Ustadz H. Hendra Zainuddin

    Bengkel Las Listrik Karya Jaya

    Perumahan

    xBanner Samping
    xBanner Samping
    Beranda Cari Trending Lainnya
    Dark Mode